Minggu, 23 Juni 2013

Ayah & Ibu adalah Inspirasi Bagiku


TUKANG SAYUR MELAHIRKAN 6 SARJANA


Sepasang suami istri, Saudi (62 tahun) dan Muayah (54 tahun), merupakan orang tua yang berjiwa pejuang super tangguh. Bermodal nol berangkat dari kampung halaman di Pekalongan menuju Jakarta pada pertengahan tahun 70an. Saat mereka menginjakkan kaki di Jakarta, mereka nol pengalaman, nol pendidikan dan keahlian karena tidak tamat Sekolah Rakyat (SR), bahkan nol secara ekonomi.  Di pikiran mereka hanya satu, ingin anak-anak keturuannya kelak menjadi orang-orang  pintar terpelajar, berpikiran maju, berpendidikan agama yang kuat, dan berguna bagi nusa bangsa dan agamanya. Mereka tidak ingin kelak anak keturunannya sama dengan kebanyakan masyarakat di desanya di Pekalongan sana, yang tidak mementingkan faktor pendidikan, tapi lebih mengutamakan faktor ekonomi.

Maka dari itu, meski hanya dengan modal tekad dan keyakinan yang kuat mereka berjuang benar-benar dari bawah. Mulai dari berdagang tempe dengan kerangjang yang dipikul keliling Kemayoran, Benhil, Kuningan, hingga Tanah Abang. Tinggal di bantaran sungai Ciliwung berdesakan dengan penghuni lain. Makan hanya satu atau dua kali sehari. Semua dijalani dengan ikhlas tanpa keluhan yang berarti. Hingga pada akhirnya mereka dapat menetap di Kalideres dan berjualan sayur. Dengan sistim mencicil, Muayah dan Saudi dapat membeli tanah milik warga Betawi asli, meter demi meter, dan mendirikan rumah mereka sendiri meski awalnya terbuat dari triplek. Di tengah perjalanan hidupnya berjuang di kerasnya ibu kota Jakarta, mereka di karuniai 9 anak, 5 perempuan dan 4 laki-laki.

Dengan keringat serta jerih payahnya yang mengharuskan mereka bangun saban jam 1 malam untuk berangkat “kulak” sayuran di pasar Cengkareng dan langsung menjajakannya di Pasar Kalideres hingga jam 12 siang, maka rupiah demi rupiah dapat terkumpul dan disisihkan untuk ditabung. Ibu Muayah yang menjajakan dan Bapak Saudi yang menata serta mengatur semua barang dagangan. Untuk lebih menarik pelanggan, Bapak Saudi di bantu anak-anaknya kerap kali harus mengelap tomat supaya terlihat kinclong di meja dagangan, mencuci wortel supaya tampak cling, memilah-milah cabai dan bawang, mengupas berkilo-kilo kacang tanah basah pesanan pelanggan, membasahi kangkung, sawi, bayam secara teratur supaya selalu terlihat segar, dan masih banyak lagi cara yang mereka gunakan agar barang dagangan tampak apik menarik.

Bapak Saudi tipe orang yang keras, tetapi rela melakukan apapun untuk kemajuan anak-anaknya. Ibu Muayah, perempuan yang ulet, sabar dan keibuan, meski setiap hari harus berkutat degan sayuran di pasar, dia tetap berusaha mengayomi dan mengurus anak-anakya sebaik mungkin.

Kesembilan anak mereka, diwajibkan masuk pesantren setamat SD. Tak ada pilihan lain selain pesantren. Bapak Saudi hanya memberi dua pilihan bagi anak-anaknya yang telah tamat SD: melanjutkan sekolah di pesantren, atau berdagang di pasar bersama orang tua. Walhasil, 7 anaknya telah tamat pesantren, 6 diantaranya telah meraih gelar sarjana, dan 2 diantaranya berhasil melanjutkan ke jenjang S2. Anak ke 7 tidak berminat melanjutkan kuliyah, dengan alasan tidak ingin membebani kedua orang tuanya, dan memilih berwiraswasta, belajar menjadi entepreunur sejati dengan guru orang tuanya sendiri.

Ketujuh anaknya itu kini telah berumah tangga dan hidup terpisah dengan keluarganya masing-masing. Mereka sedang menapaki karir dan usahanya masing-masing, meski belum terlihat melambung, namun progressnya cukup menggembirakan. Sedangkan 2 anaknya yang terakhir, yaitu Dian Fitri Ramadhani saat ini sedang menempuh pendidikan di kelas 3 Tsanawiyah Pondok Pesantren Darul Qolam Gintugn Banteng, dan  Ragil Zahratussofa kelas 5 di SDI Muslimat Kalideres Jakarta Barat.

Artinya, masih ada 2 anak yang harus dihantarkan paling tidak sampai tamat sarjana seperti keenam kakak-kakaknya, namun apadaya, karena faktor usia dan keterbatasan serta kelelahan fisik yang mendera akibat bekerja terlalu keras sejak usia muda, kini Bapak Saudi hampir tidak bisa bekerja untuk menghasilkan rupiah demi rupiah sebagaimana yang dia lakukan sepanjang lebih dari 45 tahun lamanya. Begitupun Ibu Muayah, tidak bisa lagi lincah mengais rezeki di pasar menghadapi hamparan sayuran di meja dagangan.  Waktunya kini lebih banyak dihabiskan di rumah untuk merawat suami yang kini terserang diabetes dan asam urat, yang menyebabkannya sulit berjalan, sulit melihat, dan sulit beraktivitas apapun. Di waktu yang sama, dia juga harus mengurus si bungsu, satu-satunya anak yang kini masih tinggal bersama dan menemani hari tuanya.

Bapak Saudi dan Ibu Muayah hanya mengandalkan kiriman uang dari anak-anaknya untuk biaya hidup, berobat dan biaya pendidikan Dian dan Ragil. Padahal hidup di Jakarta tidaklah murah, terlebih untuk biaya pendidikan. Untuk itu mereka berharap, selain bantuan kiriman dari anak-anaknya, ada kemudahan yang datang dari tempat yang tak terduga.

Sekelumit doa...Semoga Allah memberi jalan kemudahan dalam segala urusan bagi keduanya...


اَللَّهُمَّ اغْفِرَلِيْ وَلِوَالِدَىَّ وَٰرْحَمْهُمَا كَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا
Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orangtuaku, dan sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangi aku di waktu kecil. Amin.